Definisi Dasar, Ruang Lingkup dan Tujuan Aqidah Aswaja
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan aliran kalam yang memiliki komitmen berpegang teguh pada hadits-hadits Nabi sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang kurang kuat berpegang teguh pada hadits Nabi, dan merupakan mayoritas kaum Muslimin (‘Ammah al-Muslimin). Aliran ini dibangun Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua tokoh ini, terutama al-Asy’ari yang banyak mewarnai aliran ini mulai isi (content) maupun doktrin-doktrinnya. Menurut para ahli, sebagaimana telah diidentifikasi Harun Nasution, aliran ini timbul difaktori oleh sebab yang berbeda-beda: alSubki dan Ibn ‘Asakir menyatakan bahwa pada suatu malam Asy’ari bermimpi bahwa Nabi Muhammad mengatakan bahwa mazhab Ahli Hadits-lah yang benar sedang mazhab Mu’tazilah salah; sebab lain karena ketidakpuasan al-Asy’ari dalam perdebatan melawan gurunya, al-Jubba’i. Dalam perdebatan tersebut, al-Jubba’i tidak mampu menjawab tantangan al-Asy’ari. Sebab berikutnya karena al-‘Asy’ari mengikuti mazhab Syafi’i yang telah memiliki teologi sendiri berbeda
Definisi Dasar, Ruang Lingkup dan Tujuan Aqidah Aswaja |
Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah
wa al-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut, yaitu: Ahl,
berarti keluarga, golongan, atau pengikut. Al-Sunnah, secara bahasa bermakna
al-thariqah-wa-law-ghaira mardhiyah (jalan atau cara walaupun tidak diridhoi).
Al-Jama’ah, berasal dari kata jama’ah artinya mengumpulkan sesuatu, dengan
mendekatkan sebagian ke sebagian lain. Jama’ah berasal dari kata ijtima’
(perkumpulan), lawan kata dari tafarruq (perceraian), dan furqah (perpecahan).
Jama’ah adalah sekelompok orang banyak dan dikatakan sekelompok manusia yang
berkumpul berdasarkan satu tujuan. Menurut istilah “sunnah” adalah suatu cara
untuk nama yang diridhoi dalam agama, yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW
atau selain dari kalangan orang yang mengerti tentang Islam. Seperti para
sahabat Rasulullah. Secara terminologi aswaja atau Ahlusunnah wal jama’ah
golongan yang mengikuti ajaran rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.
A.
Ruang
Lingkup Aswaja
Menurut
Abd al-Qahir al-Baghdadi dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, Ahlussunnah wal
jama’ah terdiri atas delapan kelompok: Mutakallimun atau Ahli ilmu Tawhid, Ahli
Fiqh aliran al-Ra’y dan al-Hadis, Ahli Hadis, Ahli Ilmu Bahasa, Ahli Qira’at
dan Tafsir, Ahli Tasawwuf, Para Mujahidin, dan Masyarakat awam yang mengikut
pegangan ahlussunnah wal jama’ah. Sedangkan dalam kitabnya yang berjudul
Ziyadat Ta’liqat (hlm. 23-24), KH. Hasyim Asy’ari menyebut Ahlussunnah wal
jama’ah sebagai kelompok Ahli Tafsir, Ahli Hadis dan Ahli Fikih. Merekalah yang
mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur
Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah
al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun
dalam madzhab yang empat yaitu Mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.
Ringkasnya,
faham Ahlussunah Waljama’ah meliputi tiga ruang lingkup yaitu: Lingkup akidah,
lbadah, dan akhlak. Selanjutnya, untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlussunnah
Waljamaah tersebut dengan lingkup-lingkup lain, perlu ditegaskan dengan
menyebut masing masingnya menjadi Akidah Ahlussunnah waljamaah, Ibadah (fikih)
Ahlussunnah Waljamaah, dan Akhlak Ahlussunnah Waljamaah. Namun, mengacu pada
hadits iftiraq tersebut di atas, sebenarnya pada asalnya, ahlussunnah itu hanya
dalam lingkup akidah.
1) Pertama,
Akidah Ahlussunnah Waljamaah. Adapun dalam bidang akidah, yang memenuhi
kriteria Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang dikenal dengan nama
Asy’ariyah (pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (pengikut Imam
Abu Manshur al-Maturidi). Merekalah golongan mayoritas ulama dari masa ke masa.
Pandangan mereka dalam akidah adalah sama persis dengan pandangan ulama salaf,
hanya saja sesuai tuntutan zaman, mereka memberikan hujjah dengan
argumen-argumen rasional sehingga akidah salaf yang mereka perkenalkan adalah
akidah yang kuat dari sisi naql (periwayatan) dan juga kuat dari sisi ‘aql
(rasio). Tak heran, sejarah membuktikan bahwa hanya akidah Asy’ariyah dan
Maturidiyah yang tahan uji menghadapi berbagai tantangan dari kelompok lain. Kedua,
Imam tersebut sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naql, tidak
sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan
melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logika
Mu’tazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabaikan petunjuk naql. Dengan
demikian, maka dalam konteks historis, paham Ahlussunnah Waljamaah adalah
sebuah paham yang dalam lingkup akidah mengikuti pemikiran kalam al Asy’ari
atau al-Maturidi. Yang institusinya kemudian disebut al-Asy’ariyah atau
al-Maturidiyah. Dan sebagai institusi besar, keduanya tidak luput dari
tokoh-tokoh pengikut yang selain menyebarkan, juga mengembangkan pemikiran
kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama tokoh yang
menyebar-kembang kan pemikiran kalam al-Asy’ari dan al-Maturidi itu, tercatat
nama-nama besar seperti, al-Baqilani, al-Juwaini (Imam al-Haramain),
al-Isfirayini, Abu Bakar al-Qaffal, al-Qusyairi, Fahr al-Din al-Razi, Izz
al-Din’ Abd al Salam, termasuk al Ghazali dan al-Bazdawi. Dan pemikiran kalam
yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam di Indonesia ialah pemikiran kalam
al-Asy’ari yang telah dikembangkan oleh al-Ghazali yang lebih dikenal sebagai
tokoh sufistik. Jauh (berabad-abad) pasca tokoh-tokoh tersebut, di Indonesia
dikenal pula tokoh-tokoh al-Asy’ariyah (Asya’irah) seperti, Syaikh al-Sanusi,
Syaikh al-Syarqawi, Syaikh al-Bajuri, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh
al-Tarabilisi, Syaikh al-Fatani, dan lain-lain. Yang tidak mustahil, pemikiran
kalam mereka sudah berbeda dengan pemikiran kalam al-Asy’ari sendiri atau
setidak-tidaknya ada nuansa lain.
2) Kedua,
Fikih Ahlussunnah Waljamaah. Dalam konteks historis, institusi fiqh yang
sejalan dengan konteks substansial paham Ahlussunnah Waljamaah ialah empat
mazhab besar dalam fikih Islam, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Bahwa mazhab Hanafi dianut pula oleh mu’asis (pendiri) kalam al-Maturidiyah,
yakni Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan mazhab Syafi’i dianut pula oleh muassis
kalam al-Asy’ariyah, yakni Abu al-Hasan al-Asy’ari. Tak bisa dipungkiri,
bahwasanya di antara keempat fiqh tersebut satu sama lain banyak ditemui
perbedaan di sana sini. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam
koridor ikhtilaf-rahmat (perbedaan yang membawa rahmat). Abu Hanifah yang
dikenal sebagai ahl al-ra’yi (banyak menggunakan akal/logika), tidak mengklaim
pendapatnya sebagai terbenar. Dan ketiga Imam yang lain pun tidak pernah
menyalahkan pendapat mazhab yang lain.
Imam Mazhab tersebut sama-sama commited terhadap
petunjuk Al-Quran dan as-Sunnah. sama-sama berpola-pikir Taqdim al-Nas ‘ala
al-’aql (mendahulukan petunjuk nas daripada logika). Dalam berijtihad, mereka
tidak mengedepankan akal kecuali sebatas untuk beristinbat (menggali hukum dan
Al-Quran dan al-Hadits), tidak sampai mensejajarkan apa lagi mengabaikan nas.
Dan inilah substansi paham Ahlussunnah Waljamaah. Dengan demikian, diketahui
bahwa dalam masalah fiqh, ahlussunnah wal jama’ah adalah pengikut mazhab yang
empat. Ahlussunnah wal jama’ah mengharuskan pengikutnya di masa ini untuk bermazhab
karena bermazhab merupakan satu-satunya cara yang menjamin keterkaitan dan
kesinambungan kita dengan generasi salaf. Imam Waliyullah al-Dahlawi memberikan
penjelasan sebagai berikut:
Sebenarnya dalam mengikuti madzhab yang empat ini
terdapat kemaslahatan yang besar, dan berpaling darinya akan menimbulkan
mafsadah yang besar pula. Hal ini dapat diuraikan melalui beberapa alasan
berikut ini:
a) Kesepakatan umat Islam untuk berpegangan
kepada generasi salaf pendahulu mereka dalam upaya mengetahui syari’ah.
Generasi tabi’in berpegangan kepada generasi sahabat. Generasi setelah tabi’in
berpegangan kepada generasi tabi’in. Dan demikian pula dalam setiap generasi,
selalu berpegangan kepada generasi sebelumnya.
b) Mengikuti
madzhab yang empat tersebut berarti mengikuti sabda Rasulullah SAW: “Ikutilah
kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zham).” Hal ini berangkat dari suatu realitas
sosial umat Islam, di mana setelah madzhab-madzhab yang benar telah punah
kecuali madzhab yang empat ini, maka mengikutinya berarti mengikuti kelompok
mayoritas (al-sawad al-a’zham), dan keluar darinya berarti keluar dari kelompok
mayoritas (al-sawad al-a’zham).
c) Setelah
masa generasi salaf, yang dikatakan sebagai sebaik-baik generasi, semakin jauh
dari masa kita sekarang dan amanat telah banyak diabaikan, maka kita tidak
dibolehkan berpegangan kepada pendapat para ulama yang jahat seperti para hakim
yang curang dan para mufti yang mengikuti hawa nafsunya, kecuali apabila mereka
menisbahkan apa yang mereka katakan kepada sebagian ulama salaf yang dikenal
jujur, agamis dan amanat, baik penisbahan itu secara eksplisit maupun secara
implisit. Demikian pula kita tidak boleh berpegangan pada pendapat orang yang
tidak kita ketahui apakah ia telah memenuhi syarat-syarat melakukan ijtihad
atau tidak.”
3) Ketiga,
Akhlak Ahlussunnah Waljamaah. Adapun lingkup yang ketiga ini, paham Ahlussunnah
Waljamaah mengikuti wacana akhlak (tasawuf) yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh
seperti al-Ghazali, al-Junaid, dan tokoh-tokoh lain yang sepaham termasuk Abu
Yazid al-Bustami. Pemikiran akhlak mereka ini memang tidak melembaga menjadi
sebuah mazhab tersendiri sebagaimana dalam lingkup akidah (kalam) dan fikih.
Namun wacana mereka itu sejalan dengan substansi paham Ahlussunnah Waljamaah
serta banyak diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam.
Diskursus Islam kedalam lingkup akidah, ibadah, dan
akhlak ini bukan berarti pemisahan yang benar-benar terpisah. Ketiga-tiganya
tetap Integral dan harus diamalkan secara bersamaan oleh setiap muslim,
termasuk kaum Sunni” (kaum yang berpaham Ahlussunnah Waljamaah). Maka seorang
muslim dan seorang sunni yang baik, harus baik dalam berakidah juga sekaligus dalam
berakhlak. Seseorang baru baik akidah dan ibadahnya saja Ia belum bisa
dikatakan baik, jika akhlaknya belum baik. Oleh karena itu, maka lingkup akhlak
tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia justru teramat penting dan menjadi
cerminan ihsan dalam diri seorang muslim. Jika iman menggambarkan akidah, dan
Islam menggambarkan ibadah; maka akhlak akan menggambarkan ihsan yang sekaligus
mencerminkan kesempurnaan iman dan Islam pada diri seseorang. Iman ibarat akar,
dan “Islam” ibarat pohonnya; maka “Ihsan” ibarat buahnya. Mustahil sebatang
pohon akan tumbuh subur tanpa akar dan pohon yang tumbuh subur serta berakar
kuatpun akan menjadi tak bermakna tanpa memberikan buah secara sempurna.
Mustahil seorang muslim beribadah dengan baik tanpa didasari akidah kuat, dan
akidah yang kuat serta ibadah yang baik akan menjadi tak bermakna tanpa
terhiasi oleh akhlak mulia. Idealnya, ialah berakidah kuat, beribadah dengan
baik dan benar, serta berakhlak mulia. Beriman kuat, berislam dengan baik dan
benar, serta berihsan sejati. Maka yang demikian inilah wujud insan kamil (the perfect man) yang dikehendaki oleh
paham Ahlussunnah waljamaah.
B.
Tujuan
Aqidah Aswaja
Tujuan
pembelajaran aswaja bertujuan untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai
paham Aswaja secara keseluruhan kepada peserta didik, sehingga nantinya akan
menjadi muslim yang terus berkembang dalam hal keyakinan, ketakwaan kepada
Allah Swt., serta berakhlak mulia dalam kehidupan individual maupun kolektif,
sesuai dengan tuntunan ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah yang dicontohkan
oleh jama’ah, mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’it dan para ulama dari generasi
ke generasi. Fungsi pembelajaran
aswaja adalah menanamkan nilai-nilai dasar Aswaja kepada peserta didik sebagai
pedoman dan acuan dalam menjalankan ajaran Islam, meningkatkan pengetahuan dan
keyakinan peserta didik terhadap paham Aswaja, sehingga mereka dapat mengetahui
sekaligus dapat mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya,
memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kelemahankelamahan peserta didik dalam
menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, dan memupuk keyakinan
peserta didik tentang ajaran Aswaja yang sesungguhnya, sehingga dapat
mengamalkan dan menjalankan ajaran Islam dengan benar dan penuh keyakinan. Pendidikan aswaja merupakan upaya
sadar, terarah dan berkesinambungan untuk mengenalkan dan menanamkan paham
aswaja pada murid agar mengetahui dan meyakini dan mengamalkannya. Pendidikan
aswaja dilakukan melalui aktivitas bimbingan, pengajaran, latihan serta
pengalaman belajar.
Post a Comment for "Definisi Dasar, Ruang Lingkup dan Tujuan Aqidah Aswaja"