Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sifat - sifat Dan Nama - Nama Allah SWT Menurut Ahlulsunnah Waljamaah

Sifat - sifat Dan Nama - Nama Allah SWT Menurut Ahlulsunnah Waljamaah

Percaya kepada Allah adalah yakin pada-Nya. Mempercayai Allah melibatkan pengakuan akan keberaaan-Nya, namun kepercayaan sejati lebih dari sekedar pengakuan mental. Teisme adalah permulaan yang baik, namun tujuannya bukan itu saja.

      Mempercayai Allah diperlukan jika kita ingin mempunyai iman. Alkitab mengajar bahwa mempercayai Allah yang benar adalah pondasi dari hubungan dengan-Nya: “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia” (Ibrani 11:6).

    Secara mendasar, mempercayai Allah menyaratkan kepercayaan bahwa Ia benar ada. Ada banyak orang di dunia ini yang percaya pada dunia supranatural, yang meliputi Allah atau dewadewa. Bahkan jika kita tidak menganggap penganut agama berhala, masih banyak juga orang yang mempercayai Allah yang esa dan yang dapat dikenal secara pribadi. Ini adalah batu loncatan yang penting, namun mempercayai keberadaan Allah tidak cukup. Sebagaimana dijelaskan oleh Yakobus 2:19, para iblis bahkan mempercayai keberadaan Allah. Pengakuan akan keberadaan Allah tidak dapat menyebabkan orang menjadi saleh.

   Mempercayai Allah harus melibatkan komitmen dan hidup yang berubah. Kita mempercayai berbagai fakta yang tidak mempengaruhi pola hidup kita. Banyak orang mempercayai fakta yang mereka dengar tentang pentingnya asupan makan yang sehat serta olah-raga yang teratur, sebagai contoh, namun sebagian besar mereka tidak merubah kehidupan mereka hanya berdasarkan pengetahuan dan pengakuan fakta tersebut. Banyak orang percaya bahwa Allah itu ada tanpa melakukan apapun juga dengan fakta itu, sehingga kepercayaan mereka tidak lebih baik daripada para iblis. Iman yang tidak menghasilkan perbuatan adalah iman yang mati (Yakobus 1:26).

   Meskipun ada kepercayaan pada Allah yang menggerakkan seseorang untuk bertindak, itupun tidak cukup. Ada orang yang kepercayaannya pada Allah mendominasi kehidupannya. Mereka didorong untuk berkorban, mengabdi pada agamanya, dan melayani dalam nama Allah mereka. Dalam sebagian besar agama, ada orang yang siap melakukan apapun demi allah atau ilah-ilah mereka. Tapi, tergantung pada allah yang disembah, tindakan sang pengabdi mungkin melibatkan tindakan menyakiti-diri atau membunuh. Komitmen, pelayanan, dan pengabdian kepada kuasa yang lebih tinggi bukan jaminan moralitas seseorang.

          Kepercayaan yang sejati pada Allah haruslah berdasar pada kenyataan-Nya. Kebenaran        

Alkitab yang menyatakan “barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada” (Ibrani 111:6) berasumsi bahwa iman itu ditempatkan pada Allah Alkitab, bukan allah yang lain. Meskipun banyak orang mempercayai keberadaan Allah dan ingin melayani Dia, allah yang mereka sembah adalah allah yang mereka ciptakan secara pribadi. Manusia seringkali merancang Allah menurut diri mereka, dengan mengambil aspek-aspek yang mereka inginkan dari Allah yang benar. Mereka mungkin mempercayai bahwa Ia adalah kasih (yang merupakan konsep alkitabiah – 1 Yohanes 4:8), namun kemudian mereka menafsirkan arti kata kasih itu secara pribadi. Allah, bagi sekelompok orang, adalah seorang kakek yang senang memberi mereka halhal yang baik dan ingin supaya mereka Bahagia. Para anggota kultus Kristen mungkin dapat mengabdi pada Allah, namun bukan kepada Allah sebagaimana yang telah Ia ungkapkan tentang DiriNya dalam Alkitab. Mempercayai Allah yang kita karang sendiri tidak bermanfaat. Jika kepercayaan kita hendaknya sesuai dengan realita, kita harus mempercayai Allah sebagaimana Ia telah mengungkap DiriNya: Allah Tritunggal yang sempurna, Maha-Tahu, Maha-Kuasa, MahaCukup, tak berubah, benar, setia, berbelas kasih, mengasihi, kudus, dan adil.

        Demi mempercayai Allah sebagaimana Ia telah mengungkapkan DiriNya, kita harus mempercayai Yesus Kristus, yang adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”

(Ibrani 1:3). Yesus adalah Allah sebagai manusia, dan melalui DiriNya Allah telah mengungkapkan DiriNya dengan cara yang dapat kita pahami: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan peranta raan Anak-Nya” (Ibrani 1:1-2). Seperti yang diajarkan Yesus, “…Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya. Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku

 

2. Sifat -sifat Allah Menurut Ahlusunnah Wal Jama’ah

        Salah satu sifat Allah yang menggambarkan kemuliaan adalah sifat ‘uluw. Secara etimologis, ‘uluw bermakna ketinggian. Secara terminologis, kaum muslimin seluruhnya memaknai sifat ini sebagai sifat Kemahatinggian Allah di atas segalanya. Ungkapan-ungkapan sehari-hari yang biasa dipakai untuk menyebut sifat ini antara lain:   Penggunaan kata Ta’âlâ setelah kata Allah. Istilah Allah Ta’âlâ berarti Allah Yang Mahatinggi. Adapun istilah Allah subhânahu wata’âlâ berarti Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi.  Bacaan subhâna rabbiy ala’lâ dalam sujud bermakna Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi.  Salah satu Asmaul Husna yang biasa dipakai kaum muslimin adalah al-‘Aliyyu dan al-Muta’âl, keduanya berarti Yang Mahatinggi. Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan ketinggian, seperti di langit, di atas Arasy dan semisalnya.  

          Berdasarkan kenyataan di atas, kita tahu secara pasti bahwa tak ada satu pun orang Islam yang menolak sifat ‘uluw ini sebab seluruhnya terbiasa dengan ungkapan di atas kecuali golongan Jahmiyah (penganut paham bahwa Allah tak punya sifat apa pun) yang kini telah musnah. Akan tetapi Ahlussunnah wal Jama’ah berbeda dalam memahami sifat ini dengan kelompok teologis lainnya seperti Mujassimah-Musyabbihah (penganut paham bahwa Allah pu nya sifat fisik) di satu sisi yang terlalu literalis dan Jahmiyah di sisi lain yang terlalu mendewakan akal. Dalam perspektif Aswaja, sifat ‘uluw bukanlah ketinggian dalam arti tempat, arah atau koordinat sebab Allah bukanlah jism (entitas fisikal-material) yang menempati ruang atau terbatas dalam arah.   Imam at-Thahawi al-Hanafi (321 H) dalam al-‘Aqîdah at-Thahâwiyah menuturkan aqidah Imam Abu Hanifah (148 H) sebagai berikut:   والأركان ، والغايات الحدود عن وتعالى المبتدعات كسائر الجهات تحويه لا ، والأدوات والأعضاء   “Mahasuci Allah dari adanya batasan-batasan ukuran dan ujung-ujung, juga dari adanya unsur-unsur dan anggota badan. Dia  tak diliputi berbagai arah seperti halnya seluruh hal yang baru.”    Senada dengan aqidah Imam Abu Hanifah di atas, Imam Ibnul Jauzi al-Hanbali (597 H) menuturkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal (241

H) sebagai berikut:   سواها عما تخلى الجهات لأن للباري بالجه ة  يقو ل  لا ا أحم د  كان   “Imam Ahmad tak mengatakan adanya arah bagi Allah sebab seluruh arah meniscayakan kekosongan dari selainnya.” (Ibnu al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybîh bi Akaffi at-Tanzîh, 135)

          Adapun makna sifat ‘uluw yang dimaksud oleh al-Qur’an dan hadits tersebut dijelaskan

 فاوْقاه   اليْا  س ال ذَّي  إنَّه   :الْ اع ل ي   امعْناى  في الْا ح لي م ي  قاا ال oleh Imam al-Hafidz al-Baihaqi (458 H) sebagai berikut:  

Al-Halimi    ب ا لْْطْ الَ  ق الْ اع ل  ي لا كن هَّ  ، او ابيْناه   ابيْنا ه   مشْتا اركًا الْع ل  و  يا كو  ن امنْ  ام اع ه  او ا لا ،أا اح د  الْ اج الَ  ل ام اعا لي  منْ  لا ه  اي ج  ب  في اما

berkata tentang makna al-‘Aliyyu bahwasanya Allah adalah Dzat yang dalam hal keluhuran dan kemuliaan tak ada satupun yang di atasnya, dan tak ada yang bersamanya dan setara dalam hal ketinggian. Akan tetapi, itu adalah ketinggian yang mutlak (bukan ketinggian yang terbatas dalam arah).” (al-Baihaqi, al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz I, halaman 52)   Jadi, menetapkan sifat

‘uluw bukan berarti menetapkan arah atas bagi Allah, sama sekali tidak. Begitu pula sebaliknya, Asy’ariyah tidak bisa disebut menafikan sifat ‘uluw dengan alasan mereka menafikan adanya arah bagi Allah, seperti yang gencar diwacanakan para pembenci manhaj aqidah mayoritas ulama ini. Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), 

Yang dikenal sebagai Imam para Ahli Hadits, menjelaskan kesalahpahaman ini sebagai           الْ امعْناى  ج اه  ة  م نْ ب الْع ل   و  اوصْفاه    لأا نَّ ب الْع ل   و  ي و        اص ا ف ا لا أانْ   اللَّّ  اعلاى  م احا  ل اوال سفْ ل  الْع ل   و   ج اهتاي   اكوْ ن   منْ  ايلْ از م  او الا    berikut أاا حا ا ط قا دْ اكا ان  اوإ نْ  ذا ل اك   ضد   اي ر دْ اولامْ  اوالْ متا اعا لي اوالْ اع ل ي  الْ اعا لي  صفات  ه   في او ارد ا او لذا ل اك  الْ ح  س   ج اه  ة  م نْ ذا ل ا ك اكوْ ن  اوالْ مسْتا حي  ل

اوعز ج ل  علما اشيْء  ب ك   ل   "Kemustahilan arah atas dan bawah bagi Allah bukan berarti Dia tak bisa disifati dengan sifat al-‘uluw sebab penyifatan Allah sebagai ‘uluw adalah dari segi makna dan mustahil dari segi fisikal-inderawi. Karena itulah, ada ayat/hadits yang menyatakan sifat al-‘Âliy, al-‘Aliyyu dan al-Muta’âliy tetapi tak pernah ada kebalikannya meskipun Ilmu Allah MahaMeliputi segalanya." (Ibnu Hajar, Fath al-Bâry, juz VI, halaman 136)   Bila sifat ‘uluw bukan ketinggian dalam hal tempat, lalu bagaimana para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah memahami firman Allah yang menyatakan bahwa Allah di langit, di atas Arasy?

 :الْ مسْ ل مي ان  قاوْ  ل امعْناى اولايْ ا س


 Untuk menjawabnya, Imam al-Hafidz al-Baihaqi menegaskan

               ه  ا و او إنَّ اما ، اخلْ ق  ه اج مي  ع  منْ  باا ئ ن  لا كنَّه   ، جا ها ت ه   م نْ  ج اه  ة ف ي  متا اح  ي  ز أا وْ ، في ه   متا ام  ك ن  أا وْ ،لا ه   م اما س  أانَّه   ه او  ،الْ اعرْ ش  اعلاى اسْتا اوى          االلَّّ   إنَّ   " الْ اب صي ر  السَّ مي  ع اوه ا و اشيْ  ء اك مث لْ ه  لايْ ا س  إ ذْ ،التكَّْ يي ا ف اعنْه   او انفايْ انا ،ب  ه  فاق لْناا التوَّْ قي ف  ب  ه  اجا ا ء اخ اب  ر

  "Pernyataan kaum muslimin bahwa Allah istawa atas Arasy bukan berarti bahwa Ia menyentuh Arasy, bertempat di Arasy atau terbatas dalam salah satu arah Arasy, akan tetapi Ia terpisah dari seluruh makhluknya. Hanya saja ada ayat/hadits yang menyatakan itu, maka kami mengatakan hal yang sama dan menafikan adanya mekanisme teknis sebab tiada satu pun yang sama dengan Allah sedikitpun dan Allah Maha-Mendengar dan Maha-Melihat." (al-Baihaqi, al-Asmâ’ wa asShifât, juz II, halaman 280)   Demikianlah aqidah Alussunnah wal Jamaah yang dijelaskan oleh para Imam Mazhab maupun para Imam Ahli Hadits terkemuka. Akan tetapi, golongan Mujassimah dan Musyabbihah, yang merupakan minoritas dalam tubuh kaum muslimin, meyakini bahwa sifat ‘uluw berarti ketinggian secara fisik di atas sana. Dalam benak mereka, untuk mengimani sifat ‘uluw harus meyakini keberadaan Allah di atas sana secara fisik. Tentu saja keyakinan seperti ini menyimpang sebab meniscayakan bentuk fisikal-material (jism) bagi Allah.

 

3.Nama nama Allah menurut Ahlusunnah Wal  Jama’ah

 

1. Jahmiyyah

 

Al alamah ibnu Taimiyyah-rahimaullah-berkata”yang benar,bahwa keyakinan jahmiyyah,yaitu menafihkan seluruh nama dan sifat,sebagaimana yang di hikayatkan dari jahm,orang orang ahli lihad dan yang seperti mereka berupa pengingkaran terhadap nama nama Allah yang baik,adalah kekufuran,yang sangat jelas penyelisihan terhadap nama nama sesuatu yang di ketahui secara pastidari agama dan rasulullah SAW”

 

2. Muktazilah

 

Kelompok yang di cetuskan oleh washil bin atha mereka mentapkan nama nama akan tetapi tidak mengandung sifat. Hakikat berkeyakinan mereka adalah ,bahwa mereka ingin menafihkan bahwa allah maha mengetahui,maha kuasa, maha hidup,Maha mendengar  dan maha melihat mereka tidak menampakkan penafiaannya itu karena takut di perangi namun mereka mengatakan  sesuatu yang menunjukan makna demikian karena ketika mereka mengatakan: tidak ada ilmu bagi Allah,tidak ada kuasa bagi Allah”maknanya adalah berarti mereka

mengatakan bahwa Allah tidak maha mengetahui dan maha berkuasa .keyakinan ini mereka serap dari ahli Zindiq dan ingkar.karena ahli zindiq mengaatakan bahwa allah tidak maha mengetahui dan maha berkuasa.keyakinan ini mereka serap dari ahli zindiq kebanyakan mereka mengatakan,bahwa allah tidak maha mengetahu,tidak kuasa,tidak hidup, tidak mendengar dan tidak melihat.

 

3. ‘asyaa’irah

 

ia adalah kelompok yang di nisbatkan kepada imam abul hasan al asy’ariy(w 324

h) yang telah kembali kepada manhaj ahli sunnah pada akhir hidupnya.

Mereka menetapkan nama’’ allah yang baik (al asmaa’al husnaa)secara umum adapun dalam sifat’’allah,mereka terbagi menjadi dua kelompok: pertama:orang”terdahulu dari kelompok asya’irah menafikan seluruh sifat”ikhtiyaariyyah kedua:orang belakang dari kelompok asya’irah mereka hanya menetapkan tujuh sifat,yaitu:ilmu(al ilmu),kuasa(al qudrah),hidup(al hayaat),mendengar(as sam’u),melihat (al bashar),kehendak(al iraadah),dan berbicara(al kalaam).adapun sifat”yang lainnya mereka rubah (tahriif) seperti mereka merubah makna sifat “rahmah”dengan  “kehendak untuk memberikan pahala,atau kehendak untuk memberi nikmat”.atau sifat “al wuud”dalam nama “al waduud”dengan “kehendak untuk memberikan kebaikan

Post a Comment for "Sifat - sifat Dan Nama - Nama Allah SWT Menurut Ahlulsunnah Waljamaah"